PEMIKIRAN KEADILAN (PLATO, ARISTOTELES, DAN JOHN RAWLS)
PENGERTIAN
Keadilan
telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat
Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang
bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak
orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada
kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat
mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan
manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness),
(2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan
yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature),
dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan
sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).
Sedangkan kata “adil” dalam bahasa Indonesia bahasa Arab “al ‘adl”
yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan
hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk
menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim)
seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar
kata ‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan
kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).
Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kata “adil” di dalam Al-Qur’an digunakan berulang ulang. Kata “al ‘adl” dalam Al qur’an dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al qisth” terulang sebanyak 24 kali. Kata “al wajnu” terulang sebanyak kali, dan kata “al wasth” sebanyak 5 kali.
Untuk
mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan
merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan
diasosiasikan dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan
harus dilakukan dan pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana
memajukan keadilan. Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin
memainkan peran menegakkan keadilan.
Perdebatan
tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum dan
teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan
yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain
dipahami secara rasional. Tentu saja banyak varian-varian yang berada
diantara kedua titik ekstrim tersebut.
PLATO
Plato
adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-kekuatan
diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam
filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato
berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber
ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat
memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
- Pemilahan
kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi oleh para
penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan
domba manusia.
- Identifikasi
takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus
terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya,
aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan
pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan
anggotanya.
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat diturunkan, misalnya berikut ini:
- Kelas
penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan
latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk
pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi
dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha mencari penghasilan,
- Harus
ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan
propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan
pikiran-pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan
agama harus dicegah atau ditekan.
- Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient).
Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para
penguasa akan bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa
itu sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan
kekuasaan mereka, sedangkan alternatif kedua akan melemahkan persatuan
kelas penguasa dan stabilitas negaranya.
Untuk
mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur
aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini
adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian
keadilan bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan
individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara.
Keadilan
juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau
fungsi smakhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh
manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia
lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi
keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau
keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher.
Sedangkan
Aristoteles adalah peletak dasar rasionalitas dan empirisme.
Pemikirannya tentang keadilan diuraikan dalam bukunya yang berjudul
Nicomachean Ethics. Buku ini secara keselurahan membahas aspek-aspek
dasar hubungan antar manusia yang meliputi masalah-masalah hukum,
keadilan, persamaan, solidaritas perkawanan, dan kebahagiaan.
ARISTOTELES
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku Nicomachean Ethics.
Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas tiga
hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut,
(2) apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim apakah
keadilan itu terletak.
1. Keadilan Dalam Arti Umum
Keadilan
sering diartikan sebagai ssuatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter
yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah
keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan
berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.
Pembentukan
sikap dan karakter berasal dari pengamatan terhadap obyek tertentu yang
bersisi ganda. Hal ini bisa berlaku dua dalil, yaitu;
- jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;
- kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi “baik”
Untuk
mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih, diperlukan
pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan
secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang
lain juga ambigu.
Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding)
dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka
semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang
ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan
kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk
memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Dengan
demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial.
Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri
sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain. Keadilan yang dimaknai
sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain,
adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai. Keadilan dan tata nilai
dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang berbeda. Sebagai
hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun sebagai
suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam
hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama
tindakan yang tidak fair.
Keadilan
sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan
pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum sebagai salah satu
tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu
kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak
bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang
bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidak adilan.
Sebagai
contoh, seorang pengusaha yang membayar gaji buruh di bawah UMR, adalah
suatu pelanggaran hukum dan kesalahan. Namun tindakan ini belum tentu
mewujudkan ketidakadilan. Apabila keuntungan dan kemampuan membayar
perusahaan tersebut memang terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah
keadilan. Sebaliknya walaupun seorang pengusaha membayar buruhnya sesuai
dengan UMR, yang berarti bukan kejahatan, bisa saja menimbulkan
ketidakadilan karena keuntungan pengusaha tersebut sangat besar dan
hanya sebagian kecil yang diambil untuk upah buruh. Ketidakadilan ini
muncul karena keserakahan.
Hal
tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti
ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang
masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar hukum,
tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum adalah tidak fair. Keadilan
dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan terhadap hukum
2. Keadilan Dalam Arti Khusus
Keadilan dalam arti khusus terkait dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu:
a. Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki bagian haknya.
Keadilan
ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu tindakan
bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara “yang
lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengan atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice).
Dasar persamaan antara anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem
yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan
persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan manusia yang
sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki dasar persamaannya
adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran. Sedangkan
dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah keistimewaan (excellent).
Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih pada makna
persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari
keadilan, yaitu titik tengah (intermediate) dan proporsi.
b. Perbaikan suatu bagian dalam transaksi
Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification).
Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang yang
dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan
apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity).
Jadi keadilan adalah persamaan, dus ketidakadilan adalah ketidaksamaan.
Ketidakadilan terjadi jika satu orang memperoleh lebih dari yang
lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat.
Untuk
menyamakan hal tersebut hakim atau mediator melakukan tugasnya
menyamakan dengan mengambil sebagian dari yang lebih dan memberikan
kepada yang kurang sehingga mencapai titik tengah. Tindakan hakim ini
dilakukan sebagai sebuah hukuman.
Hal
ini berbeda apabila hubungan terjalin bukan atas dasar kesukarelaan
masing-masing pihak. Dalam hubungan yang tidak didasari
ketidaksukarelaan berlaku keadilan korektif yang memutuskan titik tengah
sebagai sebuah proporsi dari yang memperoleh keuntungan dan yang
kehilangan. Tindakan koreksi tidak dilakukan dengan semata-mata
mengambil keuntungan yang diperoleh satu pihak diberikan kepada pihak
lain dalam arti pembalasan. Seseorang yang melukai tidak diselesaikan
dengan mengijinkan orang yang dilukai untuk melukai balik Timbal balik
dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran atas nilai tertentu
sehingga mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan pertukaran inilah
digunakan uang. Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah antara
tindakan tidak adil dan diperlakukan tidak adil.
Keadilan
dan ketidakadilan selalui dilakukan atas kesukarelaan. Kesukarelaan
tersebut meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat orang melakukan
tindakan secara tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai tidak adil ataupun adil, kecuali dalam beberapa
cara khusus. Melakukan tindakan yang dapat dikategorikan adil harus ada
ruang untuk memilih sebagai tempat pertimbangan. Sehingga dalam hubungan
antara manusia ada beberapa aspek untuk menilai tindakan tersebut
yaitu, niat, tindakan, alat, dan hasil akhirnya. Ketika (1) kecideraan
berlawanan deengan harapan rasional, adalah sebuah kesalahansasaran
(misadventure), (2) ketika hal itu tidak bertentangan dengan harapan
rasional, tetapi tidak menyebabkan tindak kejahatan, itu adalah sebuah
kesalahan. (3) Ketika tindakan dengan pengetahuan tetapi tanpa
pertimbangan, adalah tindakan ketidakadilan, dan (4) seseorang yang
bertindak atas dasar pilihan, dia adalah orang yang tidak adil dan orang
yang jahat.
Melakukan
tindakan yang tidak adil adalah tidak sama dengan melakukan sesuatu
dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin diperlakukan secara tidak
adil apabila orang lain tidak melakukan sesuatu secara tidak adil.
Mungkin seseorang rela menderita karena ketidakadilan, tetapi tidak ada
seorangpun yang berharap diperlakukan secara tidak adil.
Dengan
demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan keadilan
yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil ketetapan
manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan
keadilan yang ditetapkan manusia tisak sama di setiap tempat. Keadilan
yang ditetapkan oleh manusia inilah yang disebut dengan nilai.
Akibat
adanya ketidak samaan ini maka ada perbedaan kelas antara keadilan
universal dan keadilan hukum yang memungkinkan pembenaran keadilan
hukum. Bisa jadi semua hukum adalah universal, tetapi dalam waktu
tertentu tidak mungkin untuk membuat suatu pernyataan universal yang
harus benar. Adalah sangat penting untuk berbicara secara
universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu selalu benar karena
hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak terhindarkan dari kekeliruan.
Saat suatu hukum memuat hal yang universal, namun kemudian suatu kasus
muncul dan tidak tercantum dalam hukum tersebut. Karena itulah persamaan
dan keadilan alam memperbaiki kesalahan tersebut.
JOHN RAWLS
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial.
Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan
individu dan kepentingan negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan
utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2)
keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
Rawls
mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur
dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,
kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi.
Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk:
- menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak
- melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
Rawls
berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situsi sosial
sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang
dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi
atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota masyarakat secara sederajat.
Ada tiga syarat suapaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu:
- Diandaikan
bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi
tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya,
intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.
- Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang pilihannya tersebut.
- Diandaikan
bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru
kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang
harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.
Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:
- Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak;
- Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah.
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil atas kesempatan.
Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:
- Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas.
- perbedaan
- persamaan yang adil atas kesempatan.
Asumsi
pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai
kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat
ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran
pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan
ini. Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat
sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat.
Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang
lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh
kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya
memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan
kesepakatan dan titik berangkat yang sama.
PENUTUP
Uraian
dalam tulisan ini adalah secuil khasanah pemikiran keadilan yang
berkembang sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan semangat
jamannya, situasi politik, dan pandangan hidup yang berkembang. Untuk
mempelajari keadilan memang sebuah aktivitas yang tidak ringan, apalagi
mencoba merumuskannya sesuai dengan semangat jaman saat ini.
Namun
kesulitan tersebut bukan berarti bahwa studi-studi tentang keadilan
harus dikesampingkan. Untuk kalangan hukum, studi keadilan merupakan hal
yang utama, sebab keadilan adalah salah satu tujuan hukum, bahkan ada
yang menyatakan sebagai tujuan utamanya.
Mempelajari
hukum tanpa mempelajari keadilan sama dengan mempelajari tubuh tanpa
nyawa. Hal ini berarti menerima perkembangan hukum sebagai fenomena
fisik tanpa melihat desain rohnya. Akibatnya bisa dilihat bahwa studi
hukum kemudian tidak berbeda dengan studi ilmu pasti rancang bangun yang
kering dengan sentuhan keadilan.
Praktek
hukum terseret pada tantangan-tantangan spesialistik, teknologis, bukan
lagi pertanyaan-pertanyaan moral. Kaum profesional adalah orang-orang
yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan tanyakan pada
mereka tentang moralitas. Praktek ini membuat sindiran sinis terhadap
hukum di Amerika di mana semboyan Equal Justice Under The Law di dinding Supreme Court (AS) ditambah dengan kata-kata To All Who Can Afford It. Bagaimana dengan di Indonesia?